Main Article Content

Abstract

Abstrak

Konstitusi hijau (green constitution) menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki konsekuensi yuridis konstitusional di dalam UUD 1945 untuk menerapkan prinsip-prinsip ekokrasi, yakni setiap kebijaksanaan atau pembangunan di bidang perekonomian selalu memerhatikan lingkungan hidup di segala sektor, termasuk kehutanan. Hal ini bertujuan untuk menerapkan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara seimbang demi menyejahterakan rakyat. Objek kajian ini adalah putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dengan subjek hukumnya masyarakat adat yang telah dilanggar hak konstitusionalnya. Masyarakat hukum adat memiliki kearifan lokal (local wisdom) tersendiri dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup atas sumber daya alam hutan adat, sehingga negara wajib melindungi dan bertindak sebagai fasilitator masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adatnya sendiri. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk menguji dan menganalisis konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state atau negara kesejahteraan dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat berdasarkan kajian socio-legal atau hukum dalam fakta sosial atas putusan Mahkamah Konstitusi. Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal dalam putusan ini. Selain itu, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pijakan yuridis normatif dan studi kepustakaan sebagai kerangka teori. Hasil kajian ini terungkap bahwa terdapat hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Adapun hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauhmana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada Pemerintah. Kesimpulan yang diperoleh adalah hak menguasai negara dimaknai sebagai kewenangan dan kewajiban negara untuk mengelola sumber daya alam hutan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator.

Abstract

Green constitution placed Indonesia as a country that has a constitutional juridical consequences constitution in 1945 to apply the principles of ecocracy, that is any wisdom or development in the field of economy always looking environment in all sectors, including forestry. It aims to implement the pillars of sustainable development in a balanced manner for the sake of welfare of the people (society). The study object is the Constitution Court decision No. 35/PUU-X/2012 with indigenous people’s subject his constitutional rights. Indigenous and tribal peoples have local wisdoms of its own in the protection and management of natural resources of indigenous forest, so that the state shall protect and act as facilitators of indigenous communities to manage their own indigenous forests. The purpose of this study are to examine and analyze the consistency of state authority over the doctrine of welfare state in the management of state forest with indigenous authorities in the indigenous forest management based on socio-legal study of the Constitutional Court's decision. The author uses a methodology based on assessment of the Constitutional Court decision, by examining the socio-legal aspects of this decision. In addition, primary legal materials and secondary legal materials as a normative foundation and the study of literature as a theoretical framework. The results of this study revealed that is a relationship between the state is the state forest, and the state is customary forests. To the state forest, the state has full authority to organize and decide the inventory, allocation, utilization, management, and legal relations that occur in the forest region of the country. The indigenous forests, state authority is limited extent authorized content covered in indigenous forest. Indigenous forest management rights of indigenous communities, but if the development of indigenous communities in question no longer exists, then the rights of indigenous forest management falls to the Government. The conclusion is the state is interpreted as the authority and duty of the state to manage forest resources with the goal of public welfare, including indigenous peoples, so that the state serves as a facilitator. Unity traditional communities (indigenous peoples) are part of the eco-system of indigenous forest resource contains the values of local wisdom which has the right to manage indigenous forest, without the intervention of the state or private

 

Keywords

negara masyarakat hukum adat hutan negara hutan adat sumber daya alam state indigenous and tribal peoples state forests indigenous forests natural resources negara masyarakat hukum adat hutan negara hutan adat sumber daya alam state indigenous and tribal peoples state forests indigenous forests natural resources

Article Details

How to Cite
Nugroho, W. (2014). KONSISTENSI NEGARA ATAS DOKTRIN WELFARE STATE DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT ADAT. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 1(2), 22–49. https://doi.org/10.38011/jhli.v1i2.14

References

  1. Andiko, Untuk Apa Pluralisme Hukum? Konsep, regulasi, negosiasi dalam Konflik Agraria di Indonesia, dalam Upaya Tiada Henti Mempromosikan Pluralisme dalam Hukum Agraria di Indonesia, Ed. I, Cet. I, Jakarta: Epistema Institute-HuMa-Forest Peoples Programme, 2011.
  2. Ardiwilaga, Roestandi, Hukum Agraria Indonesia, Cet. 2, Bandung: Masa Baru, 1962.
  3. Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
  4. Barber, Charles V., The State, the Environment and Development; the Genesis of Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doctoral Dissertation of California University Berkeley, 1989.
  5. Bodenheimer, Edgar, Yurisprudence; The Philosophy and Method of the Law, Cambriage, Massachesetts, 1962.
  6. Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
  7. Husni, Anang, Hukum, Birokrasi dan Budaya, Cet. I, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
  8. Husodo, Siswono Yudo, Menuju Welfare State, Kumpulan Tulisan tentang Kebangsaan, Ekonomi dan Politik, Cet. 1, Jakarta: Baris Baru, 2009.
  9. Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 tahun 2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi, telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 11 tahun 2008.
  10. _________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2007 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) pada Hutan Produksi Melalui Permohonan. Diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 61 tahun 2007 dan diubah kembali dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 tahun 2008.
  11. _________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2008 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam atau dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
  12. _________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 43 tahun 2008
  13. tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
  14. _________. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
  15. _________. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
  16. _________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
  17. _________. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  18. _________.Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2004 tentang Kehutanan.
  19. _________. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
  20. Kelsen, Hans, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Prinsip-Prinsip Teoritis untuk Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, terj.dari aslinya: What is Justice? Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science, Cet. II., Bandung: Ujungberung, 2009.
  21. Laudjeng, Hedar, Legal Opinion terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam San Afri Awang (ed), Inkonsistensi Undang-Undang Kehutanan, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1999.
  22. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012
  23. Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Cet. 2, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007.
  24. Rahardjo, Satjpto, Ilmu Hukum, Cet. 6, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.
  25. Roewiastoeti, Maria Rita, Gerakan Reforma Agrarian Berbasis Masyarakat Suku-Suku Pribumi, Jurnal Bina Desa Sadajiwa, Edisi khusus 35 tahun kelahirannya, Juni, 2010.
  26. Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Ed. I, Cet. 9, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
  27. Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Ed. I, Cet. 16, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
  28. Soepomo, R., Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1977.
  29. Sudiyat, Iman, Hukum Adat-Sketsa Asas, Cet. 4, Yogyakarta: Liberty, 2000.
  30. Supriyadi, Bambang Eko, Hukum Agraria Kehutanan; Aspek Hukum Pertanahan dalam Pengelolaan Hutan Negara, Ed. , Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
  31. Surat Edaran Nomor: SE.3/MENHUT-II/2012 tentang Kawasan Hutan
  32. Utomo, Stefanus Laksanto, Budaya Hukum Masyarakat Samin, Ed. I, Cet. I, Bandung: PT Alumni, 2013.
  33. Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet. 14, Jakarta: Gunung Agung, 1980.
  34. World Agroforestry Centre (ICRAF), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Forest Peoples Programme (FPP), Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 2003.