Main Article Content
Abstract
Pada tanggal 31 Januari 2013 dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mengenai ratifikasi Konvensi Rotterdam, seorang anggota Komisi VII meminta kepada pimpinan sidang untuk segera menghubungi Kapolri dikarenakan ditangkapnya 3 (tiga) orang aktivis lingkungan di Sumatera Selatan. Reaksi spontan dari anggota dewan tersebut menyiratkan pertanyaan tentang apa yang terjadi di Sumatera Selatan beberapa hari sebelumnya.
Tanggal 29 Januari 2013, terjadi tindakan represif dari aparat kepolisian dengan melakukan penangkapan terhadap 3 (tiga) orang aktivis lingkungan yang sedang menyampaikan pendapatnya dengan berunjuk rasa di depan Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Sumatera Selatan. Penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian mendapat kecaman dari berbagai pihak di Indonesia. Di kemudian hari ketiga aktivis lingkungan tersebut dikenal sebagai Anwar Sadat (Direktur Eksekutif Walhi Sumsel), Dedek Chaniago (Staf Walhi Sumsel), dan Kamaludin (Petani).
Tulisan ini akan mencoba memberikan analisis terkait penangkapan terhadap Anwar Sadat dan Dedek Chaniago yang dalam hal ini merupakan aktivis lingkungan yang hak-haknya dilindungi oleh Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Article Details
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.